Senin, 24 September 2012

HUKUM PERDATA BELANDA


HUKUM PERDATA BELANDA

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).

Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda]. Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda
(Sumber: http://intisarihukum.blogspot.com/2011/01/hukum-perdata-belanda.html)

Rabu, 05 September 2012

Akta


Akta surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Surat agar bisa disebut sebagai akta harus ditandatangani (Pasal 1869 BW). Surat yang tidak sejak semula dibubuhi materai, misalnya surat korespondensi biasa, dan kemudian digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan perdata, haruslah dibubuhi dengan materai (Pemateraian Kemudian :Nazageling) Pasal 10 UU No. 13 tahun 1985.

Selasa, 04 September 2012

Senin, 03 September 2012

Adopsi (adoptie/ adoption)


Adopsi (adoptie/ adoption) pengangkatan seorang anak dijadikan seperti anak kandung atau anak sendiri. Pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad 1917-129 junctis 1919-81, 1924-557,1925-93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa dalam Bab Kedua, yang berlaku bagi penduduk golongan Tionghoa. Pengangkatan anak menurut konsepsi adopsi ini adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh seorang laki-laki beristri atau pernah beristri, atau seorang janda cerai mati, tidak mempunyai keturunan laki-laki dari garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris dari keluarga sedarah asalnya, dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkatnya. Konsepsi pengangkatan anak dalam hukum adat bervariasi, demikian pula istilah yang digunakan. Misalnya, mupu anak di Cirebon, ngukut anak di suku Sunda Jawa Barat, nyentanayang di Bali, anak angkat di Batak Karo, meki anak di Minahasa, ngukup anak di suku Dayak Manyan,8 anak akon di Lombok Tengah, napuluku atau wengga di Kabupaten Paniai Jayapura, dan anak pulung di Singaraja. Konsepsi pengangkatan anak menurut hukum adat dikemukakan antara lain oleh Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat bersifat variatif, artinya di suatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya. Misalnya, dalam hukum adat Minangkabau, walaupun pengangkatan anak merupakan perbuatan yang dibolehkan, tetapi perbuatan itu tidak menimbulkan hubungan kewarisan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Sementara itu di daerah-daerah yang menganut sistem kekerabatan bilateral (parental, keibubapakan), misalnya di Jawa, Sulawesi, dan sebagian Kalimantan, pengangkatan anak menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa mengenal asas “ngangsu sumur loro” untuk kewarisan anak angkat. Kata “ngangsu” berarti mencari atau memperoleh, “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi, “loro” berarti dua. Asas itu bermakna bahwa seorang anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber, yaitu dari orang tua kandung dan orang tua angkat.