Adopsi (adoptie/ adoption) pengangkatan seorang anak dijadikan seperti anak
kandung atau anak sendiri. Pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad 1917-129
junctis 1919-81, 1924-557,1925-93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia
mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa dalam Bab Kedua,
yang berlaku bagi penduduk golongan Tionghoa. Pengangkatan anak menurut
konsepsi adopsi ini adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh seorang
laki-laki beristri atau pernah beristri, atau seorang janda cerai mati, tidak
mempunyai keturunan laki-laki dari garis laki-laki, baik keturunan karena
kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang
diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah,
putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris dari
keluarga sedarah asalnya, dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang
mengangkatnya. Konsepsi pengangkatan anak dalam hukum adat bervariasi, demikian
pula istilah yang digunakan. Misalnya, mupu anak di Cirebon, ngukut anak di
suku Sunda Jawa Barat, nyentanayang di Bali, anak angkat di Batak Karo, meki
anak di Minahasa, ngukup anak di suku Dayak Manyan,8 anak akon di Lombok Tengah,
napuluku atau wengga di Kabupaten Paniai Jayapura, dan anak pulung di
Singaraja. Konsepsi pengangkatan anak menurut hukum adat dikemukakan antara
lain oleh Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga
antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya
sendiri. Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat bersifat variatif,
artinya di suatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya.
Misalnya, dalam hukum adat Minangkabau, walaupun pengangkatan anak merupakan
perbuatan yang dibolehkan, tetapi perbuatan itu tidak menimbulkan hubungan
kewarisan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Sementara itu di
daerah-daerah yang menganut sistem kekerabatan bilateral (parental,
keibubapakan), misalnya di Jawa, Sulawesi, dan sebagian Kalimantan,
pengangkatan anak menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa mengenal asas
“ngangsu sumur loro” untuk kewarisan anak angkat. Kata “ngangsu” berarti
mencari atau memperoleh, “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi,
“loro” berarti dua. Asas itu bermakna bahwa seorang anak angkat memperoleh
warisan dari dua sumber, yaitu dari orang tua kandung dan orang tua angkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar