Senin, 03 September 2012

Adopsi (adoptie/ adoption)


Adopsi (adoptie/ adoption) pengangkatan seorang anak dijadikan seperti anak kandung atau anak sendiri. Pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad 1917-129 junctis 1919-81, 1924-557,1925-93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa dalam Bab Kedua, yang berlaku bagi penduduk golongan Tionghoa. Pengangkatan anak menurut konsepsi adopsi ini adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh seorang laki-laki beristri atau pernah beristri, atau seorang janda cerai mati, tidak mempunyai keturunan laki-laki dari garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris dari keluarga sedarah asalnya, dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkatnya. Konsepsi pengangkatan anak dalam hukum adat bervariasi, demikian pula istilah yang digunakan. Misalnya, mupu anak di Cirebon, ngukut anak di suku Sunda Jawa Barat, nyentanayang di Bali, anak angkat di Batak Karo, meki anak di Minahasa, ngukup anak di suku Dayak Manyan,8 anak akon di Lombok Tengah, napuluku atau wengga di Kabupaten Paniai Jayapura, dan anak pulung di Singaraja. Konsepsi pengangkatan anak menurut hukum adat dikemukakan antara lain oleh Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat bersifat variatif, artinya di suatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya. Misalnya, dalam hukum adat Minangkabau, walaupun pengangkatan anak merupakan perbuatan yang dibolehkan, tetapi perbuatan itu tidak menimbulkan hubungan kewarisan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Sementara itu di daerah-daerah yang menganut sistem kekerabatan bilateral (parental, keibubapakan), misalnya di Jawa, Sulawesi, dan sebagian Kalimantan, pengangkatan anak menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa mengenal asas “ngangsu sumur loro” untuk kewarisan anak angkat. Kata “ngangsu” berarti mencari atau memperoleh, “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi, “loro” berarti dua. Asas itu bermakna bahwa seorang anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber, yaitu dari orang tua kandung dan orang tua angkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar